Posted by : zTea Selasa, 19 April 2016


 The Saga Of Daniel Sclabe

Hari libur yang sangat panjang. Selalu saja kulalui dengan kegiatan yang sama, dan selalu saja membosankan. Bangun tidur, membuka jendela, mandi, menyapu halaman, memasak, sarapan, menjual buah Mr. Poch, membersihkan kebun Mrs. Shady, membuat keranjang  buah dengan anak Mrs. Shady, membacakan dongeng-dongeng membosankan untuk anak bayi Mrs. Shady, lalu mengajak jalan-jalan anak-anak Mrs. Shady bersama anjingnya. Begitulah kegiatan membosankan yang berlangsung di hari liburku sejak Ibuku meninggal, mungkin sekitar 5 tahun yang lalu.

            Lalu pulang dengan uang dikantungku. Mungkin kau sudah menyimpulkan bahwa aku bekerja pada Mrs. Shady, dan kau benar. Aku memang bekerja pada keluarganya, akan tetapi, aku tidak pernah berniat, dan sebenarnya aku enggan melakukannya. Hanya saja, Ibuku memberiku wasiat demikian, hingga aku harus tetap bekerja pada Mrs. Shady sampai aku memiliki seorang istri.

            Tapi tak pernah terpikir olehku hari Minggu yang kulalui hari itu akan mengubah hidupku, dan terlepas dari pekerjaan membosankan dirumah Mrs. Shady. Tapi sebelumnya, aku akan memulai ceritaku di hari sebelum kejadian tersebut terjadi.

            Pagi hari, seperti biasa di hari Sabtuku, aku meninggalkan rumah dan berangkat menuju rumah Mr. Poch untuk menjajakan buah-buahannya. Berkeliling menjajakan buah-buahan Mr. Poch adalah satu-satunya kegiatan yang kusukai diantara kegiatan membosankan di hari liburku. Sayangnya, perjalanan menuju rumah Mr. Poch harus melewati rumah Mrs. Shady, dan hal inilah yang membuat semua kegiatanku tetap membosankan.

            Sesampainya di depan rumah Mrs. Shady, aku berusaha membuang mukaku dan berjalan sepelan mungkin,  tapi wanita itu tetap saja mengetahui kedatanganku. Dia menghampiriku dan memelukku dari belakang, sungguh hal yang sangat menyebalkan.

“Daniel, kenapa kau datang sesiang ini?"

“Aku tidak kesiangan. Lepaskan aku! Lagipula, aku harus segera datang ke rumah Mr. Poch untuk menjajakan buah-buahannya.”

“Daniel, Lebih baik kau tidak menjajakan buah-buahan milik Mr. Poch lagi, sekarang, bersihkan saja kebun Mom. Aku sudah meyiapkan teh hangat untukmu.”

“Aku butuh uang, dan dengan bekerja pada Ibumu saja tak akan cukup.”

“Tenang saja, aku bisa meminta Mom untuk menaikkan gajimu.”

“Sudahlah tidak perlu, sekarang lepaskan aku.”

Friska, salah satu dari anak Mrs. Shady yang membosankan. Membosankan disini berarti menyebalkan. Umurnya 1 tahun lebih tua dariku sekitar 15 tahun. Dia sangat centil dan selalu saja menggangguku, dan selalu saja berkata bahwa ia mencintaiku. Biasanya aku memaksanya untuk melepaskanku jika ia menggangguku saat membersihkan kebun Mrs. Shady. Tapi karena hari itu masih pagi, aku tidak mau dia menganggapku memperlakukannya dengan kasar.

Aku meninggalkannya, dia melambaikan tangannya dan memberiku senyuman dengan cara yang membosankan. Aku tahu dia mengharapkan agar aku membalas lambaiannya. Tapi aku tak pernah melakukannya, aku mencoba menghindari resiko ia akan lebih menyukaiku dan menganggap aku juga menyukainya.

Perjalanan dari rumah Mrs. Shady menuju rumah Mr. Poch mungkin sekitar 2 km. Membutuhkan banyak waktu untuk berjalan kesana, apalagi dengan suasana hati yang tidak menyenangkan. Tak banyak kendaraan yang melewati jalan menuju rumah Mr. Poch, mungkin karena rumahnya sedikit terpencil. Dan itulah salah satu alasan dia menyuruhku menjajakan buah-buahannya, karena rumahnya terpencil. Apalagi fisiknya yang tak kuat lagi untuk berjalan mengelilingi desa, apalagi kekota.

“Hey Daniel,” kata Mr. Poch memberiku salam sambil memelukku. Hal membosankan selanjutnya yang selalu saja terjadi saat aku bertemu dengannya. Tak seperti ayahku, pelukannya bagaikan seekor induk sapi yang tidur disamping anaknya diatas kotorannya sendiri. Dan itu memang benar. Karena Mr. Poch jarang mencuci pakaiannya dan itulah alasan kedua kegiatan ini terasa membosankan bagiku. Satu-satunya alasan yang kutahu, karena istrinya sudah tiada.

“Bisa kau lepasakan aku sekarang?” tanyaku. Aku mencoba untuk membuatnya tidak marah. Diapun melepaskanku dan mengajakku masuk kerumahnya.

“Ini buah yang harus kau jajakan hari ini.” kata Mr. Poch. Ia menyerahkan dua keranjang buah padaku, keranjang pertama berisi buah apel yang sudah masak. Dan keranjang lain berisi buah lemon dan anggur. “Kau boleh mengambil 50% hasil yang kau dapat.” kata Mr. Poch sembari melambaikan tangannya padaku, dan seperti lambaian tangan Friska, lambaian tersebut tak berarti apapun. Aku tak membalas lambaianya.

Perjalanan menuju kota tidak memakan waktu cukup panjang. Hal itu bukanlah hal yang mengherankan, karena aku melewati jalan pintas. Mungkin hanya memerlukan waktu setengah jam.

Sesampainya dikota, seperti biasa aku kembali menjajakan buah-buahan Mr. Poch. Peristiwa yang terjadi setelah ini mungkin adalah sebuah tanda yang berarti dimulainya perubahan dalam hidupku. Tapi, aku tak menyadarinya hingga sebuah kisah terdengr di telingaku.

Hari itu sangat panas. Bisa kurasakan cahaya matahari menyengat kulitku. Air keringatpun bercucuran dari kepalaku. Ingin rasanya aku tidak menjajakan buah melihat beberpa buahku telah terjual, tapi karena aku teringat perkataan Mr. Poch tentang uang yang akan kudapat. Jika saja hari itu Mr. Poch tidak menawariku hasil 50%, mungkin hidupku tak akan pernah berubah. Dan bukanlah tak mungkin jika aku harus menikahi Friska dan selamanya terjebak dengan keluarga Mrs. Shady.

“Hai nak!” seseorang menepuk punggungku. Dan kudapati seorang pria yang mungkin 20 cm lebih tinggi dariku. Menurut analisaku dia berumur sekitar 25 sampai 30 tahun. “Kau benar Daniel Sclabe?”

“Yes,”

“Tentu saja, aku tak mungkin salah orang, kau sangat mirip dengan diskripsi Daniel Sclabe.”

“Daniel Sclabe? Tak ada alasan Anda bisa berkata bahwa saya mirip dengannya, karena saya memanglah dia.”

“Bisakah kita berbincang-bincang dengan lebih santai?”

“Aku fikir kita tidak bisa, saya harus menjajakan buah-buah...”Kataku menolak tapi dia memotong perkataanku. Satu yang aku tahu dia lebih tidak sopan padaku.

“Buah-buahan Mr. Poch.”

“Bagaimana Anda bisa mengetahuinya?”

“Gosip, aku tahu semua tentangmu Daniel Sclabe, paginya kau menjajakan buah-buahan milik Mr. Poch, lalu kau akan bekerja pada Mrs. Shady dan pulang dengan uang dikantungmu.”

“Anda tahu benar kata-kata saya dalam menggambarkan kegiatan di hari libur saya yang membosankan. Tapi bagaimana mungkin saya tidak tahu bahwa diri saya terkenal? Yang saya tahu saya hanyalah anak yatim piatu yang terjebak di keluarga Mrs. Shady selama bertahun-tahun.”

“Aku ingin membeli beberapa buah dikeranjangmu,” katanya mengeluarkan dompet hitam yang sangat kotor. Tentu saja saat itu aku terheran-heran. Dia hampir membuatku menghabiskan waktu, dan semua itu hanya untuk membeli beberapa buah.

“Apa maksud Anda? Anda mencari informasi tentang saya hanya untuk membeli buah?”

“Tentu saja,”

“Lalu untuk apa Anda memintaku untuk berbincang-bincang dengan santai?”
“Perkenalkan namaku John Kyle. Aku memiliki organisasi yang terdiri dari cukup banyak orang. Oleh karena itu aku ingin membeli beberapa buah daganganmu.”

“Kau membuatku terjebak dalam percakapan membosankan hanya untuk beberapa buah? Kau hampir membuatku menghabiskan waktuku menjajakan buah dan jika kau tidak mengajakku bebicara mungkin satu keranjang buah-buahan Mr. Poch sudah habis terjual.” Aku tidak memberikan tanda seru diakhir kalimat yang kuucapkan, karena memang aku tidak berbicara padanya dengan nada tinggi. Aku hanya tidak menggunakan bahasa yang sopan.

“Aku akan membeli semua buahmu, dan kalau kau mau berkeliling kesini lagi, aku juga akan memborong buah-buahan Mr. Poch.” itulah kalimat terakhir dari orang yang memborong buah-buahan Mr. Poch. Aku heran pada diriku sendiri, biasanya aku tak pernah bersikap kasar pada orang lain. Tapi mungkin karena hari itu cuaca sangat panas, dan buah-buahan Mr. Poch belum terjual setengah membuatku tak bisa menahan rasa marahku.

The Saga Of Daniel Sclabe

Hari yang begitu panas tiba-tiba saja menjadi teduh, tanpa pikir panjang aku menengok ke langit. Tak kusadari bahwa langit terlihat mendung, ini sangat aneh bagiku, padahal sedari tadi tak ada satupun awan yang kulihat. Tapi, sekarang tanpa terduga mendungpun terbentuk. Hari yang teduh menemani perjalananku menuju rumah Mr. Poch.

Dari kejauhan, aku melihat ada sesuatu yang berbeda dengan rumah Mr. Poch. Mr. Poch tidak ada dimanapun. Tidak dibawah pohon, tidak memetik buah, tidak memupuki tanaman, tidak juga meminum kopi. Tanpa pikir panjang, setelah aku mencapai rumah Mr. Poch, akupun segera memanggil namanya.

“Paman! Kau dimana? Semua buah yang kubawa berhasil terjual.” kataku berteriak sekeras yang kubisa. Kupanggil namanya berulang kali, tapi tetap saja tak ada suara yang menyahut panggilanku. Aku juga telah mengetok pintunya berulang kali, tetap taka da sahutan. Aku mencoba masuk kedalam rumah, tapi kudapati bahwa pintunya terkunci.

Aku meraba sakuku untuk menemukan sesuatu yang mungkin berguna, dan kutemukan secarik kertas. “Mungkin aku bisa menulis surat untuknya.” kataku pada diriku sendiri. Tapi aku tak menemukan sesuatu yang dapat kugunakan untuk menulis diatasnya. Akupun teringat perkataan Mr. Poch tentang apa bahan sebenarnya untuk membuat tinta. Sayangnya, butuh waktu lama untuk mengingatnya. “Aku ingat bahan tersebut diawali dengan huruf M, tapi yang teringat diotakku hanyalah kata-kata yang bahkan tak ada hubungannya denganMangsit.” Semula aku tak sadar bahwa aku telah mengatakannya, bahkan aku mengatakannya berulang-ulang.

“Mangsit… tinta… mangsit… tinta… mangsit… tinta. Tentu saja, mangsit!” Akupun bergegas untuk mencari tanaman yang menumbuhkan mangsit. Tak lama kemudian akupun menemukannya. Hal itu tak mengherankan karena aku sudah hafal seluk-beluk kebun Mr. Poch. Dengan segera akupun menuliskan surat untuk Mr. Poch. Walaupun dengan tulisan yang amburadul, aku yakin Mr. Poch dapat membacanya.

“Saat aku pulang dari menjajakan buahmu kudapati kau tidak berada di rumahmu. Oleh karena itu aku harus menuliskan surat ini untukmu, aku harap kau dapat membacanya. Maaf karena tulisanku yang kurang rapi, separuh uang dari pejualan buahmu ada didalam surat ini, seperti katamu, aku mendapat separuh. Oh, ya ada sekelompok orang yang ingin memborong buahmu, aku harap kau menyiapkannya besok. Semoga kau baik-baik saja.”

Mungkin kau akan berfikir, tidaklah mungkin hanya dengan beberapa mangsit aku dapat menulis surat sepanjang itu. Dan seharusnya, hanya beberapa kata saja yang kutulis, tapi aku bukanlah seseorang yang dapat menyampaikan sesuatu dengan tulisan yang singkat. Melainkan seseorang  yang menyampaikan sesuatu dengan tulisan yang jelas meski harus dengan kalimat yang panjang. Seperti yang akan kau temui di tulisanku ini. Seperti yang tertulis disuratku, aku menempatkan bagian Mr. Poch didalam suratku. Lalu meletakannya didepan pintu rumah Mr. Poch dan menempatkan batu diatasnya agar surat tersebut tidak melayang terbawa angin.

Ada beberapa peristiwa janggal yang kualami saat menjajakan buah hari itu. Mulai dari sedikitnya pembeli yang kutemui, seorang pembeli aneh bernama John Kyle yang mengenakan setelan jas hangat, padahal hari itu, cuaca sangatlah panas. Perkataan John Kyle tentang gosip mengenai diriku, padahal aku tahu bahwa hanya beberapa orang yang mengenalku dan peduli padaku. Cuaca yang panas dan tiba-tiba saja muncul mendung di langit juga Mr. Poch yang kudapati tidak berada di rumahnya.

Dengan segera aku pergi kerumah Mrs. Shady, tapi tak sesemangat saat sebelumnya. Aku berjalan dengan begitu pelannya, menikmati saat-saat yang kumiliki sebelum akhirnya separuh hariku akan kuhabiskan di sebuah keluarga yang sangat membosankan. Setelah satu jam lamanya akhirnya aku melihat rumah besar dengan warna hijau sebagai cat dindingnya. Di samping rumah itu terdapat kebun bunga yang selalu saja dikotori agar aku membersihkannya. Dan didepan rumah itu terdapat sebuah kursi, dan disanalah Mrs. Shady dan kedua anaknya duduk menunggu kehadiranku.

“Lihat! Akhirnya Danny datang.” kata Friska pada ibunya. Dia memberiku senyuman andalannya yang membuatku benar-benar bosan. Dan disebelahnya seorang gadis berumur 13 tahun hanya menunduk mendengar saudaranya berteriak-teriak. Setelah aku sampai dirumahnya, gadis itu langsung berdiri dan memasuki rumahnya.

“Duduklah Danny, kau pasti lelah berjalan dari rumah Mr. Poch kemari.” Mrs. Shady menawariku duduk. “Lebih baik aku lelah karena berjalan untuk menghambat waktuku menuju rumahmu, dari pada mengayuh sepeda dan menghabiskan waktu lebih cepat untuk menuju rumahmu yang penuh dengan hal-hal yang membosankan.” kataku dalam hati, aku ingin mengungkapkannya, tapi tak ada keberanian sedikitpun yang kumiliki.

Segera saja seorang gadis yang berumur 13 tahun keluar sembari memegang nampan berisi minuman untukku. Aku tak bisa mendeskripsikannya dengan jelas. Dia hampir tak pernah mengajakku berbicara, dan selalu saja menghindari tatapanku. Gadis bernama Vleriza. Seseorang yang misterius.

Friska merampas minuman yang dibawa Vleriza dan menyodorkannya padaku. “Kenapa kau membuatkannya? Satu-satunya orang yang berhak membuatkan minuman pada Danny hanyalah aku!” katanya membentak adiknya. “Kau tidak berhak melakukannya!”

“Kau bahkan tidak pernah membuatkan Danny minuman. Kau selalu saja berkata bahwa kau membuatkannya teh, tapi tetap saja kau menyuruhku untuk membuatnya.” kata Vleriza sembari menatap tajam Friska. “Dan sekarang apa aku salah membuatkan minuman untuk Danny sebelum kau menyuruhku?”

“Kau menantangku? Aku ini kakakmu kau tidak berhak menantangku!” kata Friska geram, dan terlihat sangat menakutkan bagiku. Dia merampas minuman yang baru saja ingin aku minum, dan tanpa kusadari dia menyiramkan minuman tersebut kemuka Vleriza.

“Hei, Apakah Ibumu tak pernah mengajarimu sopan santun?” tiba-tiba saja kata-kata itu terlontar dari mulutku, walaupun aku tak mengatakannya dengan nada tinggi, aku yakin mereka sudah tahu ap yang kumaksudkan. Aku tak menyadari apa yang kukatakan sebelum akhirnya Mrs. Shady menjawab pertanyaanku.

“Tentu saja aku mengajari mereka.” katanya halus. Lemah lembut memanglah ciri khasnya, dan ia juga menurunkannya pada salah satu anaknya.

“Maafkan aku,” kataku menatap Mrs. Shady dengan rasa bersalah. “Tak apa, kau benar. Kalian lebih baik masuk!” katanya pada kedua anaknya. “Sudahlah, tak perlu kau memikirkan mereka, lebih baik sekarang kau pergi kekebun. Aku akan menyuruh Lisa untuk membuatkanmu teh."

Sembari membersihkan kebun, aku mendengar suara tangisan yang ditahan dari seorang gadis. Suara tersebut bersal dari kamar di lantai atas yang memang berada disamping kebun. Aku mencoba untuk mengintip melalui jendela, tapi panggilan seseorang membuatku terhenti.

to be continued 

- Copyright © Ztea Miracle - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -