- Back to Home »
- Nothing Changes
Posted by : zTea
Selasa, 01 September 2015
Bagaimana bisa aku menyukainya? Setelah 3 tahun
berpisah, dia tiba-tiba menyapaku. “Ayo pulang bersama!” Sapanya padaku. Awal
pertemuan yang tak pernah kuduga akan terjadi, suaranya membuatku terbangun
dari lamunanku. Saat aku melihat wajahnya, aku spontan menjawab. “Kau kembali
kemari? Kenapa?”
“Lama tidak bertemu ya. Syukurlah kau masih
mengingatku, kukira kau akan melupakanku.” Katanya sambil tersenyum. “Kota itu
seperti kota mati bagiku, entah kenapa aku berpikir aku tak nyaman berada
disana. Jadi aku kembali kemari. Dan aku ingin bertemu denganmu. Aku tinggal di
rumahku dulu, jadi ayo pulang bersama seperti dulu lagi. Reztia Graind.” Dia
mengulurkan tangannya padaku. Aku pun membalasnya, “Ya, Daniel Barclay.”
Hari itu tak mungkin bisa kulupakan, hari penerimaan
murid baru, hari pertamaku di sekolah ini. Hari dimana dia menyapaku lagi untuk
pertama kali. Hari dimana kata-kata yang ia ucapkan secara otomatis selalu
kuingat. Kata-kata yang membuka hatiku padanya, “…aku ingin bertemu denganmu. …,ayo
pulang bersama seperti dulu lagi. Reztia Graind.”
Sekarang satu semester telah berlalu, aku tidak bisa
menyangkalnya lagi, aku memang menyukainya. Aku tak punya keberanian untuk
mengatakannya, aku juga tak tahu sebenarnya bagaimana perasaannya terhadapku.
Saat aku tak bersamanya, aku serasa ingin segera bertemu, tapi saat dimana kami
berdua, kami hanya seperti teman biasa, tak pernah lebih. Dan hal itu terjadi
sejak hari itu, hubunganku tak berkembang 1 cm pun. Dengan egois aku pernah berpikir,
untuk terus menunggu tanpa mengungkapkan apapun.
Hari ini, hari Senin, aku menganggapnya sebagai awal
dari suatu pekan, jadi hari ini akan menjadi pembuka yang mengawali akankah
pada pekan ini sesuatu akan berubah. Aku tak pernah berangkat ke sekolah
bersamanya, aku sering berangkat terlambat, mungkin karena dia tak ingin
terlambat jika bersama-sama denganku.
“Hei, kau masih belum mengatakannya pada Dani?”
Tanya teman sebangkuku. Dia temanku sejak SMP, namanya Sayu. Aku tak begitu
mengenalnya dengan baik. Dia sangat baik padaku, dan satu-satunya temanku di
kelas ini selain orang itu. Hari ini hari yang cerah tapi dia tiba-tiba
menanyakan hal seperti itu, mungkinkah dia tahu sesuatu? “Kupikir dia mungkin
juga menyukaimu, bukannyya kalian sudah berteman sejak dulu? Sikapnya padamu
juga berbeda. Menurutku kau spesial baginya.”
“Aku…, apa maksudmu? Lagipula tidak mungkin aku
spesial. Aku hanya sebatas teman biasa baginya.” Jawabku. Mungkin itu jawaban
yang tepat, sampai sekarang aku tidak tahu bagaimana perasaan orang itu padaku.
Karena itulah melakukan sesuatu mungkin bisa membuatnya membenciku.
“Hmmm…, hari Minggu besok, bukannya hari ulang
tahunmu?” Tanya Sayu. Untunglah, dia mengalihkan pembicaraan. “Ya, hari Minggu
besok memang hari ulang tahunku.” Jawabku tanpa ragu. “Aku penasaran, akankah
Dani memberimu sesuatu…” Kata Sayu. Setelah aku berpikir, aku ingat akan
sesuatu. “Hal itu tidak mungkin, dia akan sibuk dengan hari ulang tahunnya
sendiri, saat berulang tahun seseorang
pasti akan berpikir tentang dirinya sendiri.” Aku ingat, dulu aku sering
merayakan hari ulang tahunku bersama dengannya, saat itu aku masih kecil.
“Hari ulang tahunnya? Kapan?”
“Aku belum pernah bilang padamu ya? Ulang tahunnya
besok hari Minggu.”
“Apa? Kau belum pernah menceritakannya padaku! Hari
Minggu?”
“Ya, hari Minggu.”
“Tunggu, berarti hari lahir kalian sama? Pada tahun
yang sama?”
“Ya, dari dulu kami sering merayakannya
bersama-sama.”
“Bagaimana dengan sekarang?”
“Mungkin tidak, semenjak SMP aku tidak merayakan
hari ulang tahunku.”
Suasana kembali seperti semula, aku tidak tahu
kenapa Sayu begitu heran. Bell panjang berbunyi menandakan sekolah hari ini
telah usai. Tanpa sepatah kata apapun, ini seperti telah menjadi kebiasan bagi
kami. Begitulah kami pulang bersama. Dia tidak mengatakan apapun, aku tidak
juga menemukan topic pembicaraan. Yang terpikirkan olehku sekarang hanyalah
tentang hari ulang tahun. Akan tetapi, bagaimanapun juga, aku tidak ingin
berbicara tentang hal itu sekarang.
“Hei, Bagaimana menurutmu tentang berpenghasilan
sendiri?” Perkataannya memecah keheningan yang ada. “Itu hal yang membanggakan,
ketika kita bisa mendapatkan sesuatu dengan jerih payah kita sendiri, tapi
bagaimanapun juga, kita masih pelajar, jadi mungkin penghasilan yang bisa kita
dapat tidak begitu banyak.” Aku mengutarakan pendapatku, mungkin terlalu
mendetail. Perjalanan panjang terasa sangat cepat, hal itu disebabkan waktu
yang tidak terasa telah berlalu sembari kami bersenda gurau.
“Hei,
akhir-akhir ini apa yang paling kau inginkan?” Isi pesan dari Sayu. Kami
sering berkirim pesan untuk bercakap-cakap. Setelah berpikir sejanak aku
membalasnya, “Aku tidak begitu
menginginkan sesuatu sekarang. Karena sekarang musim dingin mungkin sebuah syal
yang bisa menghangatkanku.”
Hari berganti, sekarang hari Selasa. “Reztia, ada
sesuatu yang ingin aku tunjukkan. Lihat ini!” Sayu mengarahkan layar ponselnya
padaku, dan disana kulihat sebuah pesan. “Yang
paling kuinginkan sekarang yaitu makanan yang enak!” Kontak nama pengirim
tidak terlihat, maka dari itu aku menanyakannya, “Siapa?” “Tentu saja Dani!”
Jawab Sayu. “Seingatku kau tidak pandai memasak, jadi aku akan membantumu.”
Sepulang sekolah Sayu berencana membawaku ke
rumahnya. Di luar gerbang kami bertemu orang itu. “Maaf ya, Dani. Hari ini kau
tidak bisa pulang bersama Reztia. Reztia akan pergi ke rumahku, kami ada
urusan.” “Benarkah begitu Reztia?” “Ya.” Jawabku dengan senyuman.
Hari ini pertama kalinya aku mengunjungi rumah Sayu,
rumahnya sederhana dan tidak begitu besar. Kami membeli beberapa bahan untuk
memasak terlebih dahulu. Setelah itu, Sayu mengajariku memasak. Dia tinggal
bersama kakak laki-lakinya. “Kalau kau tidak segera menyatakan perasaanmu, aku
khawatir kalau ada sesorang yang melakukannya. Bagaimana jika orang itu aku?”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaanya.
Sayu dan kakaknya mengantarku pulang dengan mobil.
“Bisakah kau berhenti di depan sekolah?” Tanyaku pada kakaknya Sayu. “Jalan
raya di samping rumahku sedang di renovasi.” “Baiklah!” Dengan begitu kami
berhenti di depan sekolah. “Hati-hati ya!”
Di kelas aku tak banyak berbicara dengan orang lain,
selain dia dan Sayu. Hari ini Sayu tidak berangkat. Sayu mengirimiku pesan, “Maaf, tiba-tiba penyakitku kambuh, hari ini
aku tidak bisa mengajarimu memasak, sebagai gantinya aku merekomendasikan
bimbingan memasak milik pamanku di dekat rumahku. Tentang biayanya atas namakan
saja dengan namaku. Kau bisa mendaftar hari ini.”
Aku mendaftar ke bimbingan tersebut sepulang sekolah
sesuai dengan perkataan Sayu, aku mengatasnamakan diriku dengan namanya. Aku
mendaftar paket cepat, dimana aku hanya masuk 3 kali saja. Hari ini juga aku
memulainya. Disana aku bertemu dengan sesorang yang familiar diingatanku. Dia
satu kelas denganku, tapi aku tidak tahu namanya. Hari berakhir, satu yang
kusayangkan, aku tidak bisa pulang bersama dia 2 hari terakhir ini.
Sayu belum juga sembuh, aku mungkin akan duduk
sendiri lagi. Tiba-tiba seseorang duduk disampingku. “Hei, namaku Kent. Aku
seniormu di bimbingan, setidaknya kau harus mengenalku. Kau, Reztia?” DIa
mengulurkan tangannya padaku. Dia satu kelas denganku, tidak mengherankan jika
dia tahu aku bukan Sayu. “Ya, namaku Reztia.” Jawabku sambil menjabat tangannya.
DIa mengajakku seperti teman pada umumnya. Ia mengajariku hal-hal tentang
memasak.
Sekilas aku melihat Daniel Barclay menengok
kearahku. Dia tidak mengajakku berbicara hari ini. Aku menunggunya di depan
gerbang, setelah beberapa saat dia tidak juga datang. Sesekali aku melihat
ponselku barangkali dia mengirim pesan. Kenyataannya, tidak ada satupun pesan
masuk. Tidak mengherankan dia tidak memberitahuku apapun, layaknya aku kemarin.
Mungkin dia marah padaku. Pada akhirnyapun aku tidak kembali ke rumah, aku
memustukan untuk langsung menuju ke bimbingan.
Tempat bimbingan ini berada tepat di depan rumah Sayu, dan ruangan tempatku
dibimbing berada di lantai dua. Hal ini memungkinkanku melihat keadaan rumah
Sayu. Sepanjang hari ini, aku tidak melihat batang hidung Sayu, apakah
penyakitnya begitu parah? Pandanganku teralihkan sejenak, naluriku berkata
untuk menengok ke rumah Sayu. Ketika aku menengok, aku melihat Daniel Barclay
keluar dari rumah Sayu. Jauh di dalam
hatiku terasa sakit, entah kenapa. Ketika bimbingan telah usai Kent mengantarku
pulang. “Aku akan mengantarmu, sangat berbahaya bagimu pulang sendiri, sekarang
sudah malam.” Kent mengaku dia belajar bela diri dan bisa melindungiku.
Aku berangkat sekolah dan duduk di tempat biasa.
Kent lagi-lagi duduk disebelahku. Sebenarnya itu bukan masalah, tapi akan
menjadi masalah karena Sayu berangkat hari ini. Aku tidak tahu apa yang harus
kukatakan pada Sayu, terlebih lagi hal yang kulihat kemarin. Setelah melihat ke
arahku, dia menghampiri Daniel Barclay. Kenapa? Ini membingungkan, dan beberapa
saat rasa cemburu merasukiku. Sangat menyayangkan, perasaanku seperti bercampur
aduk saat melihat Sayu, ketika akhirnya dia duduk sebangku dengan orang itu.
Sepulang sekolah, aku berangkat ke bimbingan. Karena
bahan-bahan persediaan di bimbingan lebih menipis dari sebelumnya, pembimbing
menyuruh anggota untuk berbelanja. Aku dan Kent memutuskan untuk melakukannya. Dia
bersikap berbeda hari ini, sedikit terasa menakutkan. “Orang-orang yang selalu
didekatmu, aku tidak menyukainya. Bukankah mereka sedikit menekanmu? Kau tidak
punya teman lain selain aku dan mereka bukan? Dengan berteman denganku kau
sudah membuat beberapa kemajuan.” Kata Kent. Kata-katanya menyinggung
perasaanku, walaupun aku tidak begitu dekat dengan Sayu.
Kent berjalan di depanku, aku tidak begitu tahu
jalan disekitar sini, yang bisa kulakukan hana mengikutinya. Tiba-tiba dia
memilih berjalan melewati gang kecil, gang ini hanya bisa dilewati tiga orang
seukuranku. Suasana sangat hening, tidak begitu banyak suara kendaraan yang
terdengar. Kent tiba-tiba berhenti berjalan, “Reztia, aku sudah lama
memperhatikanmu, tapi kau tidak pernah melihat kearahku, dan akhir-akhir ini
kita bisa dekat. Maka dari itu kupikir hari ini aku akan mengatakannya.” Kata
Kent dengan tiba-tiba ia menghadap kearahku.
“Maukah kau menjadi pacarku?” Kata itu terucap dari
Kent, kenapa dia mengatakannya? Aku tidak pernah berpikir hal seperti itu
tentangnya, dan lagi, aku baru mengenalnya tiga hari ini. Dia tidak bisa
menjadi pacarku, itu tak mungkin. Bagaimana aku harus menolaknya?
Dentuman suara keras terdengar, terjadi dengan
sangat cepat. Seakan semua suara hilang. Beberapa saat, pikiranku kosong,
kemudian aku menyadari, Kent terbanting, ia dipukul seseorang. Melihat keadaan
Kent aku menengok kearah berlawanan, disana, aku melihat Daniel Barclay, masih
dengan genggaman tangannya.
“Apa yang kau lakukan?” Desahku, aku tidak bisa
berteriak.
“Tidak akan kubiarkan kau mempermainkan Reztia!” Dia
tidak menjawab pertanyaanku, dia meneriaki Kent.
“Kau bahkan bukan pacarnya! Kenapa kau melarangku?
Ha?” Kent membalas teriakannya dengan nada mengejek.
Dia tidak menjawab pertanyaan Kent. Terlihat tatapan
mereka berdua layaknya binatang buas yang sedang memerebutkan mangsanya.
Tiba-tiba terlintas dipikiranku, Kent belajar bela diri, sedangkan orang itu,
dia setahuku tidak begitu handal dalam hal itu. Mungkin dia akan kalah dihabisi
Kent.
Kent memukul dia lagi, anehnya, dia bisa membalas
pukulan Kent. Mereka berdua jatuh pingsan di hadapanku. Semua itu terjadi
begitu cepat, segera mungkin beberapa orang datang setelah aku berteriak,
“Tolong berhenti!” Aku meneriakkannya tepat sebelum mereka memberikan pukulan
terakhir. Ambulans datang membawa mereka ke rumah sakit. Orang tua Daniel
Barclay mengantarku pulang.
Keesokan harinya, mereka berdua tidak berangkat ke
sekolah. Aku duduk di samping Sayu. “Maafkan aku! Kemarin, aku menjauhimu.”
Kataku padanya. “Jangan dipikirkan, seharusnya aku yang meminta maaf, kalau aku
lebih cepat memeringatkanmu tentang Kent. Mungkin kau tidak akan mengalaminya.”
Ucap Sayu menjawab pertanyaanku. “Kau tahu? Dia mantan pacarku, tapi setelah
aku mendengar cerita kakakku, aku memutusnya. Menurut kakakku, Kent itu
laki-laki brengsek, dia suka mempermainkan perasaan wanita yang ia jadikan
pacarnya. Aku bahkan harus mengajak kakakku saat memutusnya. Satu-satunya orang
yang ia takuti hanya kakakku, seniornya di perguruan.” Dia menjelaskan banyak
hal tentang Kent.
“Apa dia begitu kuat?” Tanyaku heran. “Ya, tidak
banyak orang di perguruan yang bisa menandinginya.” Jawabnya. “Tapi, kemarin
orang itu bisa memukul Kent hingga pingsan saat pukulan keduanya. Yang kutahu,
orang itu tidak pandai berkelahi.” Setelah tersenyum Sayu menjawab, “Mungkin,
kekuatan ‘Cinta’.” Jawabannya sangat menyebalkan.
“Ada sesuatu yang ingin kutanyakan, hari Kamis
kemarin, apakah ada seseorang yang menjengukmu?” Tanyaku padanya, aku ingin
memastikan semuanya.“Umm, tidak ada.” Jawab Sayu. “Yang kuingat kakakku
membukakan pintu untuk seseorang, tapi bukan untuk menjengukku, tapi umm…,
mengantarkan bubur.”
Hari berganti, aku memandangi tumpukan kado, dari
ibu, ayah, paman, nenek dan banyak lagi, tapi ada satu diantaranya, terbungkus
kertas hitam. Masakan yang kubuat untuknya, haruskah aku memberikannya?
Ponselku bordering, terlihat disana, sebuah pesan.”Bisakah kita bertemu? Ada yang ingin
kubicarakan padamu. Berhubung ini hari ulang tahun kita, kuharap kita bisa
bertemu.” Pesan ini membuat hatiku bergetar, setiap kata yang tertulis
terasa sangat berarti untukku. Fakta bahwa disana tertulis, dia mengingat hari
ulang tahunku dan dia ingin bertemu denganku. Hanya jawaban singkat yang
kutulis, “Ya.”
Suhunya sangat rendah, aku mengenakan jaket tebal.
Walau begitu, masih saja terasa sangat dingin. Aku pergi menuju tempat
pertemuan, meskipun rumah kita berdampingan, dia tidak mengajak untuk bertemu
di halaman saja. Kami bertemu di taman, musim dingin sudah datang, tidak banyak
orang yang datang ke taman.
Aku melihatnya terduduk di kursi taman, mengenakan
jaket woll tebal berwarna biru terang beserta topi penghangat yang berwarna
kuning, dan celana hitam. Benar-benar perpaduan yang buruk. Meskipun begitu,
setelan itu cocok untuknya. Terlihat memar di pipinya.
“Apa masih begitu sakit?”
“Iya, pukulannya sangat keras.”
“Maafkan aku, seharusnya aku menghentikan Kent.”
“Tidak apa, dengan begini aku tidak harus berangkat
kemarin.”
Aku duduk disampingnya, kami berbincang-bincang
dengan suara sangat lirih. Begitu dinginnya, membuat kami mengeluarkan asap
saat berbicara. Dia tidak membawa bungkusan apapun. Maka dari itu aku
memberikan kado yang kubuat padanya, “Ini untukmu, jangan membaliknya,
menjatuhkannya, memegangnya dengan satu tangan, mengapitnya dan hal lain yang bisa
merubah posisinya! Kau harus memegangnya dengan kedua tanganmu didepan
tubuhmu!”
“Memangnya, apa isinya?” Tanyanya padaku. “Kau tidak
boleh membukanya sekarang dan aku tidak akan memberitahumu.” Jawabku. “Kenapa
kau memberiku hadiah?” Dia bertanya lagi. “Memangnya kenapa? Kita kan teman!”
Aku menjawabnya tanpa berpikir, aku sangat bodoh! Kenapa aku berkata hal
semacam itu? “Kalau begitu ini. Karena kita teman!”
Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam jaketnya, sebuah
syal. Dia memakaikannya padaku, sebuah syal berwarna merah. Aku senang mendapat
syal darinya, tapi hal yang dikatakannya, bahwa kita hanya “teman” membuat hatiku sedikit kecewa.
Walaupun aku juga menyebutkannya begitu, tapi, aku tidak bermaksud
mengatakannya.
“Kenapa kau tidak pernah memanggil namaku? Selama
satu semester ini, semenjak aku kembali lagi kemari, kau tidak pernah
memanggilku lagi seperti dulu. Dalam essay yang kau buat kemarinpun kau menyebutku
dengan nama lengkapku.” Dia menanyakan sesuatu yang bahkan tidak pernah
terpikir olehku, mendengar pertanyaannya itu membuatku sadar, aku tak pernah
memanggil namanya. Jika aku harus menyebut namanya, aku cenderung menggunakan nama lengkapnya. “Semua
orang memanggilmu Dani, aku tidak begitu suka nama panggilan itu. Aku lebih
menyukai nama panggilanmu dulu, Daniel. Karena tidak ada orang yang memaggilmu
seperti itu, jadi kupikir lebih baik tidak memanggilmu.” Aku mengatakan yang
sebenarnya, itulah yang kupikirkan.
“Kalau begitu panggil saja Daniel, orang tuaku juga
memanggilku seperti itu. Tidak aka nada orang yang berpikiran aneh tentang itu.
Karena kita berteman.” Perkataannya berakhir, diiringi turunnya salju. Semua
salahku, kalau aku tidak mengatakannya, dia mungkin tidak akan berpikiran
seperti itu, tapi mungkinkah dia memang bermaksud begitu? Seharusnya aku
mengatakan yang sesungguhnya, tapi mungkin tidak sekarang. Begitulah minggu ini
berakhir, tak ada perkembangan apapun diantara kami. Aku menjawabnya dengan
senyuman, dan kemudian kami pulang kerumah. Tanpa kusadari aku telah
memanggilnya seperti dulu. “Daniel!”
Posting Komentar