Posted by : zTea Selasa, 12 Agustus 2014

Rasa sakit menjalar diseluruh tubuhku, keseimbanganku telah hilang membuatku terkapar ditengah jalan. Tusukannya yang bertubi-tubi membuat darahku berceceran tidak beraturan, beberapa keluar dari luka tusukannya, beberapa keluar dari mulutku. Gadis itu sudah tidak terlihat lagi dari pandanganku, aku tidak lagi punya tenaga untuk menolehkan kepalaku. Yang bisa kulakukan hanyalah berpikir dan yang ada dalam pikiranku hanyalah, "Apakah aku akan mati sekarang?" Ini pertama kalinya aku memikirkan hal yang sama dalam satu waktu, kalimat itu terus terngiang dalam pikiranku. Aku berharap ini tidak nyata. Ini hanyalah mimpi. Dan sekarang aku sedang duduk di kelas memimpikannya. Tapi rasa sakit menyadarkanku akan kenyataan ini, kenyataan bahwa seorang gadis telah membunuhku. Kenyataan bahwa sekarang aku terkapar di tengah jalan, menunggu ajalku datang. Aku tidak punya harapan lagi. Tapi kenapa waktu seperti berjalan begitu lama, kenapa aku tidak segera mati saja? 

Tiba-tiba sebuah suara terdengar, seperti suara mobil ambulan. Mungkin ini hanya imajinasiku. Tidak mungkin ada orang yang tahu apa yang terjadi disini, tidak akan ada seorangpun yang melewati jembatan ini sebelum senja. Apalagi jembatan ini jauh dari jalan raya dan pemukiman penduduk. Atau mungkinkah aku sudah terkapar disini berjam-jam? Kalau begitu harusnya aku sudah mati. Suara ambulan mulai mendekat diiringi suara gesekan yang menandakan mobil itu berhenti dngan tergesa-gesa. Berarti seseorang menelepon ambulan untuk datang kemari. Tapi siapa? Aku tidak perlu memikirkannya, aku akan segera mati. Tidak mungkin ada kesempatan untukku hidup dengan luka-luka ini, darahku sudah banyak terbuang. Oleh karena itu walaupun aku tahu, aku tidak akan bisa berterimakasih padanya.

Orang-orang itu mengatakan sesuatu, tapi aku tidak bisa mendengarnya, mereka meengatakannya bersamaan dan terdengar begitu panik. Aku merasa mereka mengangkatku dan ..., aku tidak sadarkan diri.

Rasa sakit membangunkanku, padanganku semakin buram. Seseorang memanggilku, "Kakak, kau tidak apa? Apa yang terjadi? Kakak! Jangan tinggalkan aku! Aku tidak membenci Kakak! Aku menyayangi Kakak! Kakak!" Walau tidak begitu melihat wajahnya, dia adalah adikku, satu-satunya orang yang memanggilku kakak. Air matanya menjatuhi tanganku. Dilain sisi seseorang juga menangis, tapi aku tidak tahu siapa dia, dia tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Tapi mengetahui itu juga tidak akan mengubah apapun. Siapapun dia, aku akan tetap mati.

Rasa sakit mulai hilang dari tubuhku. Kehadiran mereka sudah tidak terlihat lagi. pandanganku mulai bertambah buram. Suara gesekan terdengar, mungkin kereta dorong yang membawaku telah berhenti di ruang ICU. Para dokter mulai melakukan sesuatu terhadapku. Aku benar-benar tidak bisa merasakan apapun, bahkan detak jantungku sendiripun aku tidak bisa merasakannya.

"Sudah terlambat! Tidak ada lagi harapan untuk anak ini."

"Ini sudah wajar, tidak akan ada seorangpun yang bisa hidup dengan luka seperti ini, dia terlalu banyak kehilangan darah."

"Ya ampun, orang itu harusnya juga tahu anak ini akan tetap mati, kenapa dia harus menelepon?"

"Kalau massa lebih dulu datang akan tersebar rumor yang tidak-tidak, dia tahu itu makanya dia menelepon."

"Aku harap dia tidak menyebarkan rumor itu sendiri."

Inderaku mulai tak berfungsi, suara mereka terdengar begitu pelan, aku bahkan tidak tahu berapa orang yang berbincang-bincang. Aku tidak bisa merasakan ataupun menggerakkan tubuhku, bahkan bola mataku tidak bisa bergerak. Tapi aku masih bisa melihat walaupun semakin lemah. Aku melihat salah satu tangan dokter berada diatas mataku dan akhirnya yang kulihat hanyalah kegelapan. 

Terdengar suara kereta dorong ini digerakkan dalam suasana yang begitu sunyi. Sepertinya aku dipindahkan keruangan lain. Aku berani bertaruh. aku dipindahkan kekamar mayat, itu satu-satunya kemungkinan yang ada. Ya mungkin aku sudah mati dan menjadi mayat, tapi dengan begini aku tidak perlu merasakan sakit lagi.

- Copyright © Ztea Miracle - Hatsune Miku - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -